Ada yang bilang hidup itu adil.
Tapi buat sebagian dari kita, hidup terasa seperti perjanjian diam-diam yang tak pernah kita tanda tangani—tapi kita bayar. Selalu.
Kamu tahu rasanya.
Saat semua terasa lancar—tanpa hambatan, tanpa luka di permukaan—tapi justru di situlah ketakutan mulai tumbuh.
Bukan takut gagal.
Tapi takut bahagia.
Karena terlalu sering bahagia datang dengan syarat yang tak pernah tertulis… dan dibayar dengan kehilangan.
Mungkin tubuhmu dulu.
Tulang-tulang yang ngilu. Kaki yang berhenti nurut. Tangan yang kehilangan kekuatannya pelan-pelan.
Lalu saat fisikmu sembuh, ternyata gantinya bukan kedamaian. Tapi seseorang.
Dia.
Yang pergi bukan karena salahmu—tapi karena semesta menagih harga atas semua hal yang “terlalu mudah kau dapat.”
Kamu tidak pernah memanggil iblis. Tapi rasanya seolah kamu sedang ditumbalkan oleh dirimu sendiri.
Dan sialnya, kamu terlalu paham polanya:
Setiap keberhasilan, pasti ada bayarannya.
Setiap hari tenang, pasti ada sesuatu yang dikorbankan.
Dan kamu mulai percaya… bahwa kamu tidak ditakdirkan untuk bahagia tanpa luka.
Lucunya, kamu tetap bertahan.
Bukan karena kuat. Tapi karena sudah terlalu terbiasa hidup dalam sistem barter yang kamu benci, tapi tak bisa hindari.
Dan di antara semua yang kamu raih, kamu bertanya: “Berapa lagi yang harus hilang… untuk sekadar merasa wajar?”
Jawabannya tak pernah datang.
Tapi kamu tetap bangun esok hari. Tetap kerja. Tetap hidup.
Karena di ujung segalanya, kamu tahu:
Kamu bukan sedang merayakan kemenangan. Kamu hanya sedang menunggu—giliran kehilangan yang berikutnya.