Lift

· 1 min reads · Mindfulness, Personal Development, Self-Exploration

Photo by <a href="https://unsplash.com/@golfarisa?utm_content=creditCopyText&utm_medium=referral&utm_source=unsplash">Arisa Chattasa</a> on <a href="https://unsplash.com/photos/a-close-up-of-a-metal-elevator-with-buttons-BoQ3FmPQgZI?utm_content=creditCopyText&utm_medium=referral&utm_source=unsplash">Unsplash</a>
Photo by Arisa Chattasa on Unsplash

Di depan pintu lift yang tertutup rapat, seorang lelaki berdiri membisu. Lorong itu sepi, hanya ditemani lampu redup dan bayang-bayang panjang yang menari di dinding. Waktu terasa berhenti, seperti lift yang tak kunjung datang, dan di dalam dirinya, kekosongan mulai tumbuh.

Ia menatap angka di atas pintu—tak berubah, tak bergerak—seperti hidupnya yang mandek di satu titik. Tak ada tujuan pasti, hanya rasa lelah yang menggantung di dada. Entah ia ingin naik atau turun, ia pun tak yakin. Yang ia tahu, ia tersesat, bukan di tempat, tapi dalam pikirannya sendiri.

Kegelapan tak hanya menyelimuti lorong itu, tapi juga menelannya dari dalam. Ia mencoba mengingat mengapa ia di sana, apa yang sedang ditunggu, dan ke mana ia hendak pergi setelah pintu itu terbuka. Tapi seperti tombol yang tak berfungsi, pikirannya pun diam tak memberi jawaban.

Dan dalam sunyi yang melingkupi, ia menyadari: kadang kehilangan arah bukan karena dunia tak memberi petunjuk, tapi karena hatinya sendiri tak lagi tahu apa yang dicari.

> comment on Twitter  / Instagram  / Threads
> cd ..